Setengah jam menjelang adzan dzuhur, dari kejauhan mata saya menangkap sosok tua
dengan pikulan yang membebani pundaknya. Dari bentuk yang dipikulnya, saya hapal
betul apa yang dijajakannya, penganan langka yang menjadi kegemaran saya di masa
kecil. Segera saya hampiri dan benarlah, yang dijajakannya adalah kue rangi,
terbuat dari sagu dan kelapa yang setelah dimasak dibumbui gula merah yang
dikentalkan. Nikmat, pasti.
Satu yang paling khas dari penganan ini
selain bentuknya yang kecil-kecil dan murah, kebanyakan penjualnya adalah mereka
yang sudah berusia lanjut. “Tiga puluh tahun lebih bapak jualan kue rangi,”
akunya kepada saya yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraan bisa menemukan
jajanan masa kecil ini. Sebab, sudah sangat langka penjual kue rangi ini, kalau
pun ada sangat sedikit yang masih menggunakan pikulan dan pemanggang yang
menggunakan bara arang sebagai pemanasnya.
Tiga jam setengah berkeliling,
akunya, baru saya lah yang menghentikannya untuk membeli kuenya. “Kenapa bapak
tidak mangkal saja agar tidak terlalu lelah berkeliling,” iba saya sambil
menaksir usianya yang sudah di atas angka enam puluh. “Saya nggak pernah tahu
dimana Allah menurunkan rezeki, jadi saya nggak bisa menunggu di satu tempat.
Dan rezeki itu memang bukan ditunggu, harus dijemput. Karena rezeki nggak ada
yang nganterin,” jawabnya panjang.
Ini yang saya maksud dengan keuntungan
dari obrolan-obrolan ringan yang bagi sebagian orang tidak menganggap penting
berbicara dengan penjual kue murah seperti Pak Murad ini. Kadang dari mereka lah
pelajaran-pelajaran penting bisa didapat. Beruntung saya bisa berbincang
dengannya dan karenanya ia mengeluarkan petuah yang saya tidak memintanya, tapi
itu sungguh penuh makna.
“Setiap langkah kita dalam mencari rezeki ada
yang menghitungnya, dan jika kita ikhlas dengan semua langkah yang kadang tak
menghasilkan apa pun itu, cuma ada dua kemungkinan. Kalau tidak Allah
mempertemukan kita dengan rezeki di depan sana, biarkan ia menjadi tabungan amal
kita nanti,” lagi sebaris kalimat meluncur deras meski parau terdengar
suaranya.
“Tapi kan bapak kan sudah tua untuk terus menerus memikul
dagangan ini?” pancing saya, agar keluar terus untaian hikmahnya. Benarlah, ia
memperlihatkan bekas hitam di pundaknya yang mengeras, “Pundak ini, juga tapak
kaki yang pecah-pecah ini akan menjadi saksi di akhirat kelak bahwa saya tak
pernah menyerah menjemput rezeki.”
Sudah semestinya isteri dan anak-anak
yang dihidupinya dengan berjualan kue rangi berbangga memiliki lelaki penjemput
rezeki seperti Pak Murad. Tidak semua orang memiliki bekas dari sebuah
pengorbanan menjalani kerasnya tantangan dalam menjemput rezeki. Tidak semua
orang harus melalui jalan panjang, panas terik, deras hujan dan bahkan tajamnya
kerikil untuk membuka harapan esok pagi. Tidak semua orang harus teramat sering
menggigit jari menghitung hasil yang kadang tak sebanding dengan deras peluh
yang berkali-kali dibasuhnya sepanjang jalan. Dan Pak Murad termasuk bagian dari
yang tidak semua orang itu, yang Allah takkan salah menjumlah semua langkahnya,
tak mungkin terlupa menampung setiap tetes peluhnya dan kemudian mengumpulkannya
sebagai tabungan amal kebaikan.
Oleh : Bayu Gawtama
0 komentar:
Posting Komentar
jika ada kritik maupun saran harap menggunakan bahasa yang sopan dan bersifat membanggun, terimakasih