Apakah Anda Sungguh Ingin Menjadi Pengusaha dan
Kaya Raya? Ada jerih payah untuk mendapatkan kekayaan, ribuan kehati-hatian
untuk mempertahankannya, dan ribuan kesedihan jika kehilangan - Thomas Draxe
Sebuah sub judul pada halaman awal sebuah buku
pegangan bagi calon pengusaha sukses di tanganku.
"Mmm ... pengusaha dan kaya raya, sebuah dua sisi mata uang, selalu
berhubungan," pikirku.
Sejak kecil impian untuk menjadi seorang pengusaha selalu terngiang. Aku masih
teringat sewaktu di sekolah dasar di era 80-an, seringkali aku membawa sebuah
kartu nama ayahku yang tertulis sebagai President Director di salah satu
perusahaan. Sering kubawa kartu nama itu, sesekali kupamerkan kepada
rekan-rekanku di sekolah. Dulu, aku begitu bangga dengan kartu nama tersebut.
Atau kadangkala aku buat sendiri sebuah kartu nama dari guntingan kertas karton
yang kuberi logo dan warna sesuka hatiku, dan tak lupa menuliskan jabatan
president director di bawah namaku dengan spidolku. Ehm ... senang hatiku
melihatnya, dan sering pula kutunjukan pada kedua orang tuaku, atau siapa pun
yang ingin aku pamerkan. Kartu itu kerap menghiasi dompet mungilku, dan aku
berharap mudah-mudahan dewasa kelak bisa menjadi pengusaha sungguhan. Mimpiku.
Itu masa kecilku ...
Ya, pengusaha. Yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, menjadi pengusaha
tentulah selalu dikelilingi oleh berbagai kekayaan dan kesenangan. Mudah untuk
meraup uang, kepuasan materil tercukupi, dikelilingi kemewahan dan kenyamanan.
Menjadi pengusaha yang kaya menjadi impian banyak orang. Kekayaan selalu
menjadi tujuan utamanya. Ya, sekali lagi, kaya telah menjadi sesembahan baru di
zaman ini.
Sungguh mengagetkan pendapat Robert T. Kiyosaki dalam menanggapi definisi
"bagaimana mencapai level kaya". Dia mengatakan bahwa alasan kenapa
banyak orang tidak bisa kaya adalah karena mereka tidak cukup atau kurang
memberi kepada sesamanya. Atau dengan kalimat yang lebih sederhana adalah
seseorang yang mempunyai manfaat atau nilai tambah bagi orang banyak, maka
orang tersebut akan menjadi kaya raya. Aku pikir itu adalah prinsip yang
sungguh Islami.
Aku teringat sebuah dialog dengan rekan seorang pengusaha yang sungguh menarik
sekaligus memperkuat penjelasan di atas. Pada saat kutanya bagaimana caranya
membangun bisnisnya, beliau mengatakan, "Yang terpenting dalam targetku
adalah aku berbuat bisnis seperti ini bukan karena ingin memupuk kekayaan,
sungguh sekali-kali tidak! Yang kuingin adalah aku punya sekumpulan pegawai
layaknya kumpulan umat di bawah wilayah perusahaanku. Aku berharap dengan di
bawah kepemimpinanku, tidak ada teriakan kata lapar lagi dari para pegawai
maupun anak-anak mereka. Aku ingin menjadikan kantorku sebagai tempat
perlindungan sekumpulan umat kecilku itu, aku sayang mereka, dan semakin sayang
kepada mereka, dan juga kepada anak-anak mereka. Tidak pernah terpikir olehku
berapa besar biaya yang akan dikeluarkan untuk merealisasikan hal ini. Aku bina
perusahaan tersebut dengan landasan cinta dan kasih sayang layaknya seorang
ayah. Aku berusaha keras sekuat tenagaku untuk menahkodai kapal bisnis ini
untuk sampai di pantai kebahagiaan kelak secara bersama-sama. Dan selalu
kulibatkan kehadiran Allah dalam setiap langkah kami. Kuingin suasana
perjuangan selalu hadir, agar hati kami selalu hidup dan umatku merasa bahagia,
dan aku berkeyakinan hal itu akan menjadi persembahan kami dalam meraih
keberkahan dan akan menjadi bekal di akhirat kelak ...! Kami yakin pasti Allah
akan selalu menolong kami."
Tak terasa mataku berkaca kaca dan keharuanku mengalir bersama dengan
uraiannya.
Lain lagi Bob Galvin, bercerita tentang ayahnya, pendiri Motorola. Sewaktu dia
mengamati deretan pekerja wanita dan dia termenung, "Mereka semua mirip
dengan ibuku, mereka semua punya anak yang harus dicukupkan, rumah yang harus
dirawat, dan orang-orang yang masih memerlukan mereka yang berada dibawah
tanggungan mereka." Hal itulah, ujar Galvin, yang membuat ayahnya selalu
termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi agar tercipta kehidupan yang lebih
baik bagi mereka karena ayahnya melihat sosok ibunya dalam diri semua pekerja
itu. "Begitulah bisnis kami semuanya dimulai dengan rasa hormat yang
mendalam," katanya.
Bahkan salah satu sosok kaum beriman, Umar bin Abdul Azis, karena rasa belas
kasih dan rasa cintanya, dia selalu memberikan upah kepada pegawainya lebih
besar dari apa yang ia terima. "Allahu akbar," gumamku, dan aku yakin
bila hal ini kusampaikan kepada para pegawaiku, mereka semua akan tersenyum
lebar dan berharap hal itu menjadi kenyataan setelah membaca ini.
Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat nabi juga telah mempraktekkan
tentang bagaimana menggunakan kekayaanya. Dia seorang pengusaha yang sukses.
Tetapi dia memandang kekayaannya hanyalah sebagai fasilitas untuk beramal
saleh. Dia mencontohkan dalam kisahnya yang telah mensedekahkan separuh harta
miliknya sebanyak 40.000 dinar pada Rasulullah saw, kemudian dia mensedekahkan
lagi hartanya sebanyak 40.000 dinar, dan kembali bersedekah sebanyak 40.000
dinar. Semuanya itu berlangsung dalam jangka waktu yang berdekatan. Lalu dia
menanggung 500 kuda untuk kepentingan fi sabillillah, dan setelah itu kembali
menanggung 1.500 unta untuk kepentingan fi sabilillah. Sebagian besar harta
milik Abdurrahman tersebut adalah yang dia peroleh murni dari hasil berbisnis.
Mereka melakukan semua itu, tidak lain karena mereka tidak menjadikan kekayaan
sebagai hasil akhir yang ingin dicapai, melainkan mereka menggunakan kekayaan
yang dimilikinya untuk meraih janji Tuhannya dengan mendapatkan ganjaran yang
luar biasa yaitu surga-Nya.
"Sesungguhnya Allah membeli dari orang orang mukmin, baik diri maupun
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka, maka bergembiralah dengan
jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang
agung." (At Taubah:111)
Said Nursi, ulama dari Turki, mengomentari ayat tersebut dan berkata,
"Seandainya saya memiliki seribu nyawa, dengan senang hati saya akan
mengorbankan semuanya demi kejayaan Islam. Bagaimana tidak? Karena sesungguhnya
saya kini sedang menunggu di alam Barzakh (alam antara kematian dan
kebangkitan), kereta yang akan membawa saya ke akhirat. Saya sudah ikhlas dan
siap melakukan perjalanan ke dunia lain untuk bergabung bersama di tiang
gantungan. Saya ingin sekali dan sudah tidak sabar untuk melihat akhirat.
Cobalah Anda bayangkan keadaan pikiran seorang anak kampung dari sebuah dusun
yang seumur hidupnya belum pernah melihat sebuah kota besar dengan berbagai
kesenangan, kemewahan dan kemegahan. Maka anda akan tahu bagaimana ketidaksabaran
saya untuk mencapai hari akhir itu."
Akhirnya, tiada kata lain saudaraku, sudah siapkah kita menjadi enterpreuner
langit seperti itu?
Penulis: Zidni. T. Dinan
0 komentar:
Posting Komentar
jika ada kritik maupun saran harap menggunakan bahasa yang sopan dan bersifat membanggun, terimakasih