Nama
saya Joko Kusumo P. Lahir di Solo 06 Juni 1941. Saya pernah berkeluarga dengan
4 (empat) orang anak dan seorang istri. Tapi, karena perbedaan akidah kemudian
saya cerai darinya. Kini, saya telah
menikah kembali dengan seorang hajah dari daerah Bandung. Daerah itulah yang
kini menjadi tempat tinggal kami sekarang,
Sebelum
masuk Islam, saya adalah seorang pemuka agama lain. Bahkan, saya sempat menjadi
pimpinan sebuah rumah peribadatan perwakilan Amerika di Bandung. Rasa
ketertarikan pada Islam telah saya rasakan oleh sejak lama. Hal itu bermula
ketika saya harus mengawinkan anak saya dengan isterinya yang beragama Islam.
Ketika itu, saya merasakan kesedhan yang amat sangat. Bagaimana tidak, seorang
bapak tidak boleh menjadi wali anaknya sendiri disebabkan beda agama.
Rasa
sedih itu terus terbawa dalam kehidupan saya, sampai suatu hari saya berikrar
kepada salah satu anak saya, apabila dia menikah saya yang akan menjadi walinya
(kebetulan anak saya "berhubungan " dengan seorang aktivis keagamaan
di kampusnya ). Ikrar tersebut merupakan salah satu dorongan semangat bagi saya
untuk terus mempelajari agama Islam, dan saya kira, itu salah satu
"pangilan" Allah buat saya. Dalam kehidupan manusia, wajar apabila
seseorang mengalami masa transisi,
apalagi dalam hal keyakinan (agama). Demikian pula yang terjadi pada saya. Pada
masa ini, saya mencoba merenungkan dan mempelajari kembali keyakinan yang pada
waktu itu saya anut, dan agama yang akan saya yakini (Islam). Untuk memuaskan
rasa penasaran saya terhadap Islam, saya mengikuti beberapa kali pengajian di
salah satu pesantren filial Daarussalaam Gontor.
Setelah
mengikuti beberapa pengajian di pesantren tersebut, sayamenjadi sangat yakin
bahwa agama yang paling benar menurut saya adalah agama Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad saw. Karena itu, sekitar bulan September 1996, saya mengucapakan
dua kalimat syahadat di pesantren itu.
Pada
bulan Januari 1997, anak saya menikah dengan seorang Muslim. Alhamdullilah,
janji saya bisa menjadi wali pada saat anak saya menikah terpenuhi. Terselip
rasa haru dan bangga dalam hati.
Setelah
masuk Islam, saya merasakan kebanggan, ketentraman, dan kesehatan yang di
berikan Allah Swt. Tapi, kemudian ujian datang menghadang. Setelah beberapa
waktu menjadi seorang Muslim, salah seorang anak menderita penyakit ginjal, dan
di haruskan terapi cuci darah 2x dalam seminggu. Saya diberitahu dokter bahwa
terapi anak saya harus 3x seminggu. Tapi, setelah bicara dengan dokter
tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa penyakit ginjal anak saya tidak akan sembuh
dengan cuci darah.
Rasa
kasihan terhadap orangtua timbul pada diri anak saya. Ia meminta untuk tidak
melakukan terapi lagi baginya karena hanya akan buang-buang biaya. Akhirnya, ia
pun harus meninggalkan kami semua.
Ada
sebuah kejadian memngharukan yang belum pernah saya lihat dan alami ketika anak
saya akan meninggal. Dengan tuntunan saya, ia mengucapkan istigfhar, dua
kalimat syahadat, dan Allahu Akbar. Setelah itu, dia pun menghembuskan nafas
terakhir tepat di pangkuan saya.
Wajahnya
terlihat senyum. Tak terlihat ada rasa nyeri di wajahnya. Padahal, waktu
menjadi pemimpin agama sebelumnya, saya sering melihat seseorang yang sekarat
dengan wajah yang kelihatan menahan sakit yang tiada tara). Kejadian tersebut
menambah keyakinan saya terhadap agama yang baru saya anut: Islam.
(Andri Irawan/MQ)
Sumber: www.MQMedia.com
0 komentar:
Posting Komentar
jika ada kritik maupun saran harap menggunakan bahasa yang sopan dan bersifat membanggun, terimakasih